Aku juara nyasar. Sampai saat ini belum ada yang menandingi. Aku pernah salah memasukkan anak kunci ke pintu rumah orang. Saat itu kami baru menikah dan mengontrak di sebuah perumahan yang belum ramai penghuni. Karena pintunya tidak kunjung terbuka, terpikir olehku untuk mundur beberapa langkah. Setelah kuamati, ternyata terlewat dua rumah. Menurutku ini wajar, karena bentuk rumahnya sama persis dan aku baru tinggal di sini.
Kemungkinan aku juga buta arah. Sering saat berlatih yoga di sanggar, setelah mengikuti aba-aba instruktur tanpa melihat contohnya, aku bingung sendiri, kok jadinya pose-ku beda dengan pose teman-teman yang lain. Ternyata saat aba-aba mengatakan pakai tangan kiri, misalnya, aku malah pakai tangan kanan. Bagiku ini juga wajar. Kiri… kanan… beda tipis… it’s an honest mistake.
Menggunakan peta juga tidak banyak membantu. Fitur GPS di telepon genggamku sama saja. Sulit bagiku membayangkan arah karena sudut pandangku berbeda dengan sudut pandang peta. Kalaupun aku terpaksa jadi navigator, petanya kuputar-putar sesuai dengan arah yang kami tuju, bukannya tetap memegang peta dengan arah utara di bagian atas kertas. Itu pun belum tentu bisa memberikan petunjuk yang benar kepada pengemudi.
Untung my roomate kompas yang lebih baik daripada GPS mana saja yang selalu menyelamatkan setiap aku nyasar. Gusti Allah memang adil, tukang nyasar disandingkan dengan ‘GPS hidup’. Tanpa belahan jiwa yang memahami selama dua puluh tahun ini, aku bagaikan sampan yang terombang-ambing di samudra luas tanpa tahu arah tujuan.
Aku pernah nyasar bareng temanku saat hendak ke Komunitas Salihara di Pasar Minggu, Jakarta. Hari masih pagi. Setelah melewati mal Pejaten Village dan dipastikan nyasar, kukeluarkan ‘senjata’ andalan (ponsel) dan menelepon suami.
Dia tanya, “Matahari ada di sebelah mana?”
“Dari sini enggak kelihatan dong Matahari-nya.”
“Lihat ke luar, mataharinya ada di kiri atau di kanan?”
(oooh… matahari, bukan Matahari department store.)
“Di kiri…”
“Berarti kalian sedang menghadap ke selatan. Kalau gitu kalian puter balik terus dst… dst… dst…”
Sampailah kami di tempat tujuan.
Kuis flashfiction dari Kampung Fiksi. Hanya sampai di babak seleksi pertama (48 besar) dari 137 peserta. It’s been fun!
Like this part: “Setelah dipastikan nyasar”.
*tersipu-sipu*
kerenn euy 😀
Terima kasih, yes 😀
Cool banget! Aku suka dari awal kalimat : Aku Juara Nyasar. #jadi berasa ada temen. Aku jugaaaa..HIks!#
Trims. Jangan lupa kalimat keduanya “Sampai saat ini aku belum tertandingi.” *membusungkan dada*
Beruntungnya dirimu punya belahan jiwa yg memahami keunikan dirimu mbak. 🙂
Iyaa… ^_^ dia juga beruntung memilikikuuu 😀
wanita emang pada umumnya “buta peta” *bukan peta buta 😛
kalo bang Rh*ma bilang, itu sunnatullah
Banyak juga sih yang melek peta. Teman kantorku salah satunya. Dia pengoleksi peta dan bisa membaca peta dengan baik… jadi, sewaktu bepergian bareng, dengan santai aku mengikuti ke mana pun dia pergi hehehe…
Hahaha! Ada temen! Mbak Juara I, aku juara II. :))
Nasib kita sama, Mbak. Suamiku sangat hafal jalan. Arah utara, selatan, wis serahkan ke dia saja. Aku manut wae. 😀
Yeeaa, *toss*
matahari (sun) bukan Matahari (departemen store) =))
jadi ini alasannya mba Dina ga takut pergi2 padahal juara nyasar
Iya, Melo. Selain itu aku selalu cari orang yang bisa ditebengin hehehe.
Wah ternyata banyak teman juara nyasar, aku juga termasuk payah, menjadi navigator mencari jalan tembus dekat rumah, satu jam keliling-keliling tak tentu arah. Sampai temanku bilang aku parah. Padahal sering sekali aku lewat ke sana. Aneh ya, apa yang salah?
Hahaha… aku sih udah pasrah dan enggak mempertanyakan lagi… Dengan bangga aku mengaku, Tukang Nyasar Profesional 😀
Aku brarti kebalikan dirimu mb, aku termasuk bisa baca peta. Kadang2 sering jadi sumber info kalo ada teman2 yg bingung tentang jalan, kadang suamiku yg banyak tanya, secara aku lebih banyak jalan n naik turun angkutan umum hahaha
Akhirnya… ada juga bukti nyata bahwa tidak semua perempuan tukang nyasar 😀